Rabu, 26 Februari 2014

TENTARA, SANTRI, DAN TRAGEDI KEDIRI

PONDOK PESANTREN, ANSOR, DAN TENTARA BERSAMA-SAMA MEMBANTAI ANGGOTA DAN ORANG YANG TERLIBAT DENGAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA. TERSULUT PERISTIWA KANIGORO.
Menyandang wewenang, Abdul Malik memimpin 100 pemuda Ansor berjalan kaki dari lapangan alun-alun Kota Kediri menuju kelurahan Burengan. Tujuannya: kantor Partai Komunis Indonesia,sekitar tiga kilometer sebelah timur pusat Kota Kediri. Tanpa basa-basi, beragam senjata tajam berkelebat. Belasan pengurus PKI yang mencoba mempertahankan kantor terjungkal, lainnya melarikan diri ke utara desa. “Kantor itu kami bakarhingga ludes,” ujar mantan Komandan Peleton III Ansor Kecamatan Kandat, Kediri, ini mengenang peristiwa 13 Oktober 1965 itu. Abdul mengatakan peristiwa itu adalah awal aksi dia menumpas anggota PKI di Kediri. Grup Abdul tak sendiri. Ada puluhan kelompok lain yang terdiri atas santri berbagai pondok pesantren serta anggota Ansor dan Banser berjumlah puluhan ribu orang. Hari itu mereka serentak menyisir kantong-kantong PKI di Kediri.
Sebelum bergerak massa mengikuti apel siaga yang digelar di alun-alun kota. Apel dipimpin Syafi’i Sulaiman dana H Toyip,dua tokoh Nahdatul Ulama terkemuka di Kediri. “Mereka menyatakan PKI telah menginjak-injak agama islam dan hendak menumpas kaum muslim di Indonesia,” kata Abdul. Atas dasar itu mereka memberikan intruksi tegas kepada peserta apel:tumpas PKI.
Menurut Abdul, tentara memiliki andil besar dalam pelaksanaan apel itu. Satu malam sbelum apel siaga digelar, Abdul menyaksikan sejumlah anggota komando rayon militer datang ke rumah H Sopingi, tokoh NU yang tinggal di Kelurahan Setonogedong,Kediri, tempat rapat pembahasan rencana apel siaga. Anggota koramil itu meminta apel siaga segera digelar karena PKI telah siap bergerak menyerang Kediri.
Hermawan Sulistyo, penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu ,menyatakan apel siaga itu awalnya memang atas permintan Komandan Brigade Infanteri 16 Kolonel Sam kepada Ketua NU Kediri. Permintaan itu sekaligus ungkapan eksplisit dukungan militer terhadap NU untuk brgerak. Bahkan Sam memberikan sepucuk pistol Luger kepada Ketua Ansor Kediri sekaligus melatihnya menembak di Gunung Klotok, gunung kecil di sebelah barat Kediri. Selain direstui para kiai pemuka NU,apel itu dihadiri sejumlah tokoh diluar NU. Bupati dan Komandan Komando Distrik Militer Kediri kala itu ikut datang dan memberi sambutan.
Apel siaga itu tonggak awal penumpasan anggota PKI dan orang-orang yang dianggap terkait dengan partai berlambang palu-arit tersebut di Kediri. Pembantaian berskala besar dan terbuka selanjutnya terjadi selama berbulan-bulan di seluruh wilayah Kota Tahu ini. Salah satu lokasi favorit untu membantai adalah gisikan atau sepanjang pinggiran sungai Brantas, yang membelah wilayah Kediri. Kepala para korban dipenggal dan lantas dilempar ke sungai.
Kediri diduga menjadi ladang pembantaian paling besar di Jawa Timur. Belum ada angka pasti jumlah korban pembantaian kala itu. Namun, sejak operasi penumpasan dimulai, Sungai Brantas menjadi kuburan terapung. Mayat-mayat yang sebagian besar tanpa kepala mengambang di sepanjang sungai. Bau busuk menguar. Tidak ada orang yang berani menangkap ikan serta bersedia makan ikan dari sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur itu.
Kediri juga penyumbang tahanan PKI terbesar di Jawa Timur. Berdasarkan data Direktorat Sosial Politik Provinsi Jawa Timur pada 1981, jumlah mantan tahanan terkait dengan PKI yang dibebaskan dan wajib lapor sebanyak 446.803 orang di seluruh Jawa Timur, sebanyak 83.300 orang berasal dari Kediri.
**
Sejak penyerbuan di Kelurahan Burengan pertengahan Oktober itu, selama berbulan-bulan Abdul terus memimpin Ansor Kandat menumpas PKI. Menurut dia, aksi itu mendapat dukungan penuh sekaligus perlindungan dari tentara. Pernah suatu ketika kelompoknya kalah menghadapi orang-orang PKI di Desa Batuaji, Kecamatan Kandat, Kediri. Karena massa PKI lebih besar, Abdul meminta bantuan koramil. Tak lama kemudian, sejumlah tentara membawa panser datang membantu.
Bukan hanya itu, setiap malam truk koramil datang ke rumah Abdul menyetorkan sejumlah anggota PKI untuk dieksekusi. TNI yang menangkap PKI,sementara mereka eksekutornya. TNI seperti “nabok nyilih tangan (meminjam tangan orang lain untuk memukul).”
Begitu diturunkan dari truk “paket kiriman” dari koramil itu lantas digiring ke pemakaman umum Desa Sumberejo, yang berada tak jauh dari rumah Abdul, untuk “disekolahkan”-istilah yang dipakai saat itu yang berarti dibunuh. Jumlahnya beragam, sebanyak 4-17 orang dikirim tiap malam.
**
Awal Oktober 1965, aktivitas pengajian di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri mendadak gaduh. Kiai Makhrus Aly,pengasuh pondok pesantren tersbesar di Kediri itu ,mengatakan massa PKI dalam jumlah besar akan menyerang Kediri. Kiai Makhrus mendapat informasi itu dari Komando Daerah Militer Brawijaya. Seorang perwira Kodam meberitahu Kiai Makhrus bahwa PKI akan menyerang Kediri pada 15 Oktober 1965 dan Pesantren Lirboyo adalah sasaran utama penyerbuan. Untuk meyakinkan Kiai Makhrus,perwira itu menunjukkan sejumlah lubang mirip sumur yang digali di area tebu mengelilingi pesantren Lirboyo. Ia mengatakan PKI membuat lubang itu untuk membuang mayat para santri dan kiai Lirboyo yang akan mereka bantai nanti. Pendek kata, kiai Makhrus percaya.
Kiai Makhrus yang juga ketua suriah NU, lantas menginstruksikan para santri untuk bersiaga. Semua santri dewasa mendapat pelatiahan silat serta gemblengan ilmu kebal dari pengurus dan pendekar pesantren. Tetapi kiai Makhrus masih punya batasan. Dia melarang para santri membunuh simpatisan PKI yang tinggal disekitar Lirboyo karena tidak ingin ada pertumpahan dara antara santri dan warga sekitar pesantren yang kala itu banyak berafiliasi ke PKI ,sehingga penumpasan di sekitar pesantren dilakukan oleh TNI sendiri.
**
Masdoeqi Moeslim salah satu anggota Pelajar Islam Indonesia(PII) yang waktu itu berada di tempat kejadian di Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri mengatakan bahwa ia masih ingat betul kejadian itu. Saat itu jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia beserta 127 pesera pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk melaksanakan shalat subuh. Lalu sekitar seribu anggota PKI bersenjata datang menyerbu, sebagian PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke dalam karung lalu dilempar ke halaman masjid dan di injak-injak. Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan masjid, para panitia pelatihan diikat dan ditempeli senjata. Massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhari dan adik ipar Kiai Makhrus Aly(pengasuh PonPes Lirboyo). Ayah Gus Maksum itu ditendang dan diseret keluar rumah. Lalu mereka mengikat dan menggiring 98 orang termasuk Kiai Jauhari, ke markas Kepolisian Kras dan menyerahkannya ke polisi.
Kejadian ini semakin memberikan tanya besar pada benak kita semua. Siapakah yang sebenarnya bersalah atas kasus ini ?
Entahlan, mungkin benar ungkapan dalam syair lagu yang berbunyi “Coba Kita bertanya pada rumput yang bergoyang”
Sumber : Majalah TEMPO edisi 1-7 Oktober 2012

7 komentar:

  1. asalamualikum. tulisan anda bagus.

    BalasHapus
  2. wa'alaikumsalam
    terima kasih

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah PKI kalah,sebab bila PKI menang,maka korbannya akan jauh lebih banyak,dan kita akan jadi ateis semua,juga keadaan Indonesia bisa sama atau bahkan lebih buruk dari korut karena perang saudara.

    BalasHapus
  4. ya Alhamdulillah ...PKI kalah itu semua berkat pertolongan Allah SWt...mari ambil hikmahnya dan tetap waspada .

    BalasHapus
  5. mba ..ini artikel keseluruhan dari majalah tempo atau bagaimana ya? plis beri jawaban hehe thenkyu

    BalasHapus
  6. Itulah bukti militer waktu itu menghakimi orang tanpa pengadilan...

    BalasHapus
  7. Kok masih bertanya siapa yang salah? Apa anda tidak percaya dengan para ulama kyai?

    BalasHapus