PONDOK PESANTREN, ANSOR,
DAN TENTARA BERSAMA-SAMA MEMBANTAI ANGGOTA DAN ORANG YANG TERLIBAT
DENGAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA. TERSULUT PERISTIWA KANIGORO.
Menyandang wewenang, Abdul
Malik memimpin 100 pemuda Ansor berjalan kaki dari lapangan alun-alun
Kota Kediri menuju kelurahan Burengan. Tujuannya: kantor Partai
Komunis Indonesia,sekitar tiga kilometer sebelah timur pusat Kota
Kediri. Tanpa basa-basi, beragam senjata tajam berkelebat. Belasan
pengurus PKI yang mencoba mempertahankan kantor terjungkal, lainnya
melarikan diri ke utara desa. “Kantor itu kami bakarhingga ludes,”
ujar mantan Komandan Peleton III Ansor Kecamatan Kandat, Kediri, ini
mengenang peristiwa 13 Oktober 1965 itu. Abdul mengatakan peristiwa
itu adalah awal aksi dia menumpas anggota PKI di Kediri. Grup Abdul
tak sendiri. Ada puluhan kelompok lain yang terdiri atas santri
berbagai pondok pesantren serta anggota Ansor dan Banser berjumlah
puluhan ribu orang. Hari itu mereka serentak menyisir kantong-kantong
PKI di Kediri.
Sebelum bergerak massa
mengikuti apel siaga yang digelar di alun-alun kota. Apel dipimpin
Syafi’i Sulaiman dana H Toyip,dua tokoh Nahdatul Ulama terkemuka di
Kediri. “Mereka menyatakan PKI telah menginjak-injak agama islam
dan hendak menumpas kaum muslim di Indonesia,” kata Abdul. Atas
dasar itu mereka memberikan intruksi tegas kepada peserta apel:tumpas
PKI.
Menurut Abdul, tentara
memiliki andil besar dalam pelaksanaan apel itu. Satu malam sbelum
apel siaga digelar, Abdul menyaksikan sejumlah anggota komando rayon
militer datang ke rumah H Sopingi, tokoh NU yang tinggal di Kelurahan
Setonogedong,Kediri, tempat rapat pembahasan rencana apel siaga.
Anggota koramil itu meminta apel siaga segera digelar karena PKI
telah siap bergerak menyerang Kediri.
Hermawan Sulistyo, penulis
buku Palu Arit di Ladang Tebu ,menyatakan
apel siaga itu awalnya memang atas permintan Komandan Brigade
Infanteri 16 Kolonel Sam kepada Ketua NU Kediri. Permintaan itu
sekaligus ungkapan eksplisit dukungan militer terhadap NU untuk
brgerak. Bahkan Sam memberikan sepucuk pistol Luger kepada Ketua
Ansor Kediri sekaligus melatihnya menembak di Gunung Klotok, gunung
kecil di sebelah barat Kediri. Selain direstui para kiai pemuka
NU,apel itu dihadiri sejumlah tokoh diluar NU. Bupati dan Komandan
Komando Distrik Militer Kediri kala itu ikut datang dan memberi
sambutan.
Apel siaga itu tonggak
awal penumpasan anggota PKI dan orang-orang yang dianggap terkait
dengan partai berlambang palu-arit tersebut di Kediri. Pembantaian
berskala besar dan terbuka selanjutnya terjadi selama berbulan-bulan
di seluruh wilayah Kota Tahu ini. Salah satu lokasi favorit untu
membantai adalah gisikan
atau sepanjang pinggiran sungai Brantas, yang membelah wilayah
Kediri. Kepala para korban dipenggal dan lantas dilempar ke sungai.
Kediri diduga menjadi
ladang pembantaian paling besar di Jawa Timur. Belum ada angka pasti
jumlah korban pembantaian kala itu. Namun, sejak operasi penumpasan
dimulai, Sungai Brantas menjadi kuburan terapung. Mayat-mayat yang
sebagian besar tanpa kepala mengambang di sepanjang sungai. Bau busuk
menguar. Tidak ada orang yang berani menangkap ikan serta bersedia
makan ikan dari sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur itu.
Kediri juga penyumbang
tahanan PKI terbesar di Jawa Timur. Berdasarkan data Direktorat
Sosial Politik Provinsi Jawa Timur pada 1981, jumlah mantan tahanan
terkait dengan PKI yang dibebaskan dan wajib lapor sebanyak 446.803
orang di seluruh Jawa Timur, sebanyak 83.300 orang berasal dari
Kediri.
**
Sejak penyerbuan di
Kelurahan Burengan pertengahan Oktober itu, selama berbulan-bulan
Abdul terus memimpin Ansor Kandat menumpas PKI. Menurut dia, aksi itu
mendapat dukungan penuh sekaligus perlindungan dari tentara. Pernah
suatu ketika kelompoknya kalah menghadapi orang-orang PKI di Desa
Batuaji, Kecamatan Kandat, Kediri. Karena massa PKI lebih besar,
Abdul meminta bantuan koramil. Tak lama kemudian, sejumlah tentara
membawa panser datang membantu.
Bukan hanya itu, setiap
malam truk koramil datang ke rumah Abdul menyetorkan sejumlah anggota
PKI untuk dieksekusi. TNI yang menangkap PKI,sementara mereka
eksekutornya. TNI seperti “nabok nyilih
tangan (meminjam tangan orang lain untuk
memukul).”
Begitu diturunkan dari
truk “paket kiriman” dari koramil itu lantas digiring ke
pemakaman umum Desa Sumberejo, yang berada tak jauh dari rumah Abdul,
untuk “disekolahkan”-istilah yang dipakai saat itu yang berarti
dibunuh. Jumlahnya beragam, sebanyak 4-17 orang dikirim tiap malam.
**
Awal Oktober 1965,
aktivitas pengajian di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri mendadak
gaduh. Kiai Makhrus Aly,pengasuh pondok pesantren tersbesar di Kediri
itu ,mengatakan massa PKI dalam jumlah besar akan menyerang Kediri.
Kiai Makhrus mendapat informasi itu dari Komando Daerah Militer
Brawijaya. Seorang perwira Kodam meberitahu Kiai Makhrus bahwa PKI
akan menyerang Kediri pada 15 Oktober 1965 dan Pesantren Lirboyo
adalah sasaran utama penyerbuan. Untuk meyakinkan Kiai
Makhrus,perwira itu menunjukkan sejumlah lubang mirip sumur yang
digali di area tebu mengelilingi pesantren Lirboyo. Ia mengatakan PKI
membuat lubang itu untuk membuang mayat para santri dan kiai Lirboyo
yang akan mereka bantai nanti. Pendek kata, kiai Makhrus percaya.
Kiai Makhrus yang juga
ketua suriah NU, lantas menginstruksikan para santri untuk bersiaga.
Semua santri dewasa mendapat pelatiahan silat serta gemblengan ilmu
kebal dari pengurus dan pendekar pesantren. Tetapi kiai Makhrus masih
punya batasan. Dia melarang para santri membunuh simpatisan PKI yang
tinggal disekitar Lirboyo karena tidak ingin ada pertumpahan dara
antara santri dan warga sekitar pesantren yang kala itu banyak
berafiliasi ke PKI ,sehingga penumpasan di sekitar pesantren
dilakukan oleh TNI sendiri.
**
Masdoeqi Moeslim
salah satu anggota
Pelajar Islam Indonesia(PII) yang waktu itu berada di tempat kejadian
di Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri
mengatakan bahwa ia masih ingat betul kejadian itu. Saat itu jam baru
menunjukkan pukul 04.30. Ia beserta 127 pesera pelatihan mental
Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap
untuk melaksanakan shalat subuh. Lalu sekitar seribu anggota PKI
bersenjata datang menyerbu, sebagian PKI masuk masjid, mengambil
Al-Quran dan memasukkannya ke dalam karung lalu dilempar ke halaman
masjid dan di injak-injak. Para peserta pelatihan digiring dan
dikumpulkan di depan masjid, para panitia pelatihan diikat dan
ditempeli senjata. Massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari,
pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhari dan adik ipar Kiai Makhrus
Aly(pengasuh PonPes Lirboyo). Ayah Gus Maksum itu ditendang dan
diseret keluar rumah. Lalu mereka mengikat dan menggiring 98 orang
termasuk Kiai Jauhari, ke markas Kepolisian Kras dan menyerahkannya
ke polisi.
Kejadian ini semakin
memberikan tanya besar pada benak kita semua. Siapakah yang
sebenarnya bersalah atas kasus ini ?
Entahlan,
mungkin benar ungkapan dalam syair lagu yang berbunyi “Coba Kita
bertanya pada rumput yang bergoyang”
Sumber
: Majalah TEMPO edisi 1-7 Oktober 2012
asalamualikum. tulisan anda bagus.
BalasHapuswa'alaikumsalam
BalasHapusterima kasih
Alhamdulillah PKI kalah,sebab bila PKI menang,maka korbannya akan jauh lebih banyak,dan kita akan jadi ateis semua,juga keadaan Indonesia bisa sama atau bahkan lebih buruk dari korut karena perang saudara.
BalasHapusya Alhamdulillah ...PKI kalah itu semua berkat pertolongan Allah SWt...mari ambil hikmahnya dan tetap waspada .
BalasHapusmba ..ini artikel keseluruhan dari majalah tempo atau bagaimana ya? plis beri jawaban hehe thenkyu
BalasHapusItulah bukti militer waktu itu menghakimi orang tanpa pengadilan...
BalasHapusKok masih bertanya siapa yang salah? Apa anda tidak percaya dengan para ulama kyai?
BalasHapus