Dari
Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 yang saya temukan di dalam tas kerja ayah
saya pada awal Januari 2014, hati saya mulai tergerak untuk menulis apa yang
telah saya baca tentang sisa-sisa kisah Partai Komunis Indonesia di bumi
pertiwi ini. Keadilan masih jauh rasanya dari semua pihak yang dirugikan atas
peristiwa berdarah 1965.
Rekonsiliasi tidak bisa dimulai dari ingkar;
ia harus diawali oleh pengakuan. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh para
pelaku pembunuhan massal 1965 dan mereka yang menyokong kejadian itu. Dalam
frasa truth and reconciliation terma
“kebenaran”diletakkan mendahului “rekonsiliasi” untuk menunjukkan yang satu
merupakan syarat mutlak bagi yang lain.
Sekarang
berpuluh-puluh tahun berlalu sejak pembunuhan besar-besaran terhadap anggota
Partai Komunis Indonesia(PKI) dan orang-orang yang dituduh berafiliasi
dengannya. Rekonsiliasi masih jauh dari angan-angan. Yang abadi hingga kini:
para pelaku-juga organisasi serta aparatur Negara yang menyokong aksi sadis
itu-sibuk menyangkal atau membela diri seraya mengingatkan tentang “bahaya
laten” komunisme.
Tak
ada angka pasti tentang jumlah korban. Pada Desember 1965, Sukarno pernah
membentuk komisi pencari fakta yang dipimpin Menteri Negara Oei Tjoe Tat untuk
mencari tahu. Karena tak leluasa bekerja dan khawatir pada reaksi tentara,
komisi itu menyimpulkan 78 orang terbunuh-angka yang dipercaya terlalu kecil.
Laporan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menyebutkan korban
tewas sekitar satu juta. Menurut mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan
Darat Sarwo Edhie Wibowo, setidaknya tiga juta orang terbunuh. Para aktivis
kiri mempercayai dua juta.
Meminjam
Robert Cribb, kaum kiri membesar-besarkan skala pembantaian untuk menekankan
kesalahan para pelaku. Bagi para penentang komunis, angka yang tinggi
menegaskan bahaya PKI, angka yang rendah akan mengurangi kesalahan mereka.
Dalam hal ini, pengingkaran tampaknya dimulai dari statistic.
Dalam
semangat mengungkap “truth” itulah
film The Act of Killing karya
sutradara Joshua Oppenheimer layak mendapat perhatian. Dibuat selama tujuh
tahun, film itu memuat kesaksian terbuka seorang bergajul yang pernah membunuh
ratusan orang PKI di Medan. Kesaksian itu menguak motif lain para jagal: dendam
pribadi. Bagi Anwar Congo,jagal itu, orang-orang PKI harus dibunuh karena
mereka melawan film Barat-“kapitalisme” yang bertahun-tahun telah menfkahi
Anwar sebagai tukang catut karcis bioskop. Sejumlah algojo lain menyampaikan
apologia yang tak baru: mereka membunuh untuk menyelamatkan Negara dari bahaya
komunis.
Dalam
alam pikir Orde Baru yang belum sepenuhnya pupus di masyarakat, permohonan maaf
yang diajukan Abdurrahman Wahid pada awal reformasi dulu layak diapresiasi.
Sebagai kepala Negara dan kiai Nahdatul Ulama, Gus Dur secara terbuka
menyatakan penyesalan. Patut disayangkan, 13 tahun setelahnya segelintir ulama
NU justru menolak meminta maaf kepada para korban dan meminta presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengikuti jejak mereka. Sikap ini mereka ambil setelah Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini.
Sejarah mencatat, NU adalah organisasiyang aktif berperan “membersihkan” PKI di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Betapapun
penolakan tak surut, langkah untuk menyembuhkan luka 1965 harus terus
dilakukan. Membentuk pengadilan ad hoc untuk
mengadili para pelaku-kini uzur atau bahkan sudah meninggal-tampaknya bukan
rencana yang mudah dilakukan. Proses rekonsiliasi yang membutuhkan
undang-undang diperkirakan memakan waktu lama meski tak sepatutnya ddiabaikan.
Permintaan
maaf pemerintah mungkin jadi solusi jangka pendek. Penyesalan bisa dilakukan
dengan memberi kompensasi yang wajar kepada para korban. Aksi pemerintah ini
diharapkan diduplikasi oleh masyarakat di level yang lebih mikro. Benih
permaafan itu sebenarnya bukan tak ada sama sekali.
Di
Palu, Sulawesi Tengah, Wali Kota Rusdi Mastura secara resmi dan terbuka meminta
maaf kepada bekas anggota PKI. Kepada keluarga korban ia menjanjikan kesehatan
gratis dan beasiswa. Ia juga berencana mendirikan monumen di bekas lokasi kerja
paksa PKI.
Di
luar itu, tak selayaknya kita alergi terhadap komunisme. Sudah lama ideologi
itu bangkrut. Uni Soviet porak poranda, Cina kini sama kapitalisnya dengan
Amerika. Ide masyarakat tanpa kelas adalah utopia yang using dan sia-sia.
Karena
itu, tak perlu melarang penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisma.
Ketetapan MPRS tentang itu sebaiknya dihapus saja. Tak boleh ada pembredelan
buku yang menyangkut 1965-juga yang lainnya. Yang justru harus diperangi adalah
stigmatisasi para komunisme dan para korban. Menyebut komunis sebagai ateis
merupakan salah kaprah yang bertahun-tahun terlanjur dipercaya. Dengan kata
lain, hadapi komunisme dengan rileks. Semoga Indonesia menjadi lebih dewasa
lagi.
Sumber
: Majalah TEMPO edisi 1-7 Oktober 2012 hal.29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar