Rabu, 26 Februari 2014

Kebangkitan PKI

Ini adalah gambaran kebesaran kuasa PKI waktu itu
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [4]

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia

Keikutsertaan PKI di Pemilu 1955


Bukti PKI merajai politik Indonesia
Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5].

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya.
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRC. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.


Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia

Peristiwa Madiun (aksi sebelum penyerangan PKI ke PII di Kediri)

Ini adalah konflik yang ditengarai sebagai aksi sebelum terjadinya pemberontakan pada angogota Pelaajar Islam Indonesia di Kanigoro
Peristiwa Madiun adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama, peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun, dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru, peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).

Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada Amerika Serikat (dan bukannya kepada Uni Soviet).


Latar belakang

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk sayap kiri|golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III). Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief (kolonel)|Abdul Latief dan Kapten oentoeng Samsoeri

Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil Indonesia di Praha, Muso, kembali dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus, Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Amir Sjarifuddin Harahap, Setyadjit Soegondo dan kelompok diskusi Patuk.

Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.

Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polis dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut dibunuh dan jenazah nya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Moewardi yang sering menentang aksi-aksi golongan kiri, diculik ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar yang beredar ia pun juga dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.

Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.

Sebelumnya pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, Plaosan, Magetan|sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Soekiman Wirjosandjojo (Menteri Dalam Negeri), Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Soekanto Tjokrodiatmodjo, sedangkan di pihak Amerika Serikat hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Soekanto berangkat ke Amerika Serikat guna menerima bantuan untuk Kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat.

Selain itu dihembuskan isu bahwa Soemarsoso, tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia mengatakan bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari pemerintah pusat.

Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.
Akhir konflik

Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.

Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.

Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.





sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Madiun

Pembentukan Partai Komunis Indonesia

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.

PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lagi-lagi dari sini : http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia

Gerakan Awal PKI

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda [1]

Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.

Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.

Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.

ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia.

Ini saya tulis dadakan dari halaman ini lho :D





http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia

PELAKSANAAN PEMBERONTAKAN GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

Keputusan Kamaruzaman selaku ketua biro khusus PKI yang diumumkan pada pertemuan tokoh-tokoh PKI tanggal 29 September 1965 :
Nama gerakan itu adalah “Gerakan 30 September”
Aksi yang semula akan dilakukan 30 September pukul 04.00 diubah menjadi tanggal 1 Oktober dini hari
Beberapa komando yang dibentuk PKI :
Komando Pasopati dibawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief yang bertugas menculik para perwira TNI AD
Komando Bima Sakti dibawah pimpinan KaptenSuradi bertugas menguasai keadaan Ibu Kota
Komando Gatotkaca dibawah pimpinan Mayor Udara Gatot Sukresno bertugas menguasai basis gerakan
Letkol Untung sebagai pimpinan PKI memutuskan dan memerintahkan kepada seluruh anggota PKI untuk memulai gerakan pada malam hari tanggal 30 September 1965. Komando-komando bentukan PKI mulai melancarkan serangannya untuk menghancurkan pemerintahan yang sah dengan jalan sebagai berikut:
Menculik dan Membunuh para Perwira Angkatan Darat
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari PKI menculik dan membunuh perwira tinggi dan perwira pertama TNI AD antara lain ;
Letnan Jenderal Achmad Yani (Men/Pangad)
Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputy II Men/Pangad)
Mayor Jenderal M.T.Haryono (Deputy III Men/Pangad)
Mayor Jenderal S.Parman (Asisten I Men/Pangad)
Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan (Asisten IV Men/Pangad)
Brigadir Jenderal Sutoyo Siswoharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal TNI AD)
Letnan Satu Piere Tendean (Ajudan Jenderal A.H.Nasution)
Letnan Kolonel Sugiono
Kolonel Katamso Sharmokusumo
Pada peristiwa ini Jenderal Abdul Haris Nasution(A.H.Nasution) berhasil menyelamatkan diri, tetapi putrinya Ade Irma Suryani tewas terkena tembakan. Selain itu pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun juga gugur saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang akan menculik Jenderal A.H.Nasution.
Para jenderal yang tertangkap disiksa,dibunuh lalu setelah meninggal baru dimasukkan dalam sumur tua di Lubang Buaya,Jakarta.
Merebut Gedung-Gedung penting
Gedung-gedung yang mereka rebut antara lain adalah gedung RRI pusat dan gedung telekomunikasi karena  gedung-gedung tersebut dianggap vital untuk mensosialisasikan gerakan mereka. Melalui gedung RRI, mereka mulai melancarkan fitnah-fitnah antara lain ;
1) Munculnya Dewan Jenderal yang bertujuan merebut kekuasaan pemerintahan RI. Untuk menyelamatkan situasi, mereka menangkap para jenderal yang menjadi anggota Dewan Jenderal.
2) Diumumkan bahwa Kabinet Dwikora sudah tidak berkuasa lagi
3) Membentuk Dewan Revolusi diketuai Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Supardjo. Dewan revolusi inilah yang memegang kekuasaan di Indonesia.
Presiden segera mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan. Pada waktu bersamaan, PKI juga mengadakan kudeta di Jogjakarta, Surakarta, Semarang, dan Wonogiri. Selanjutnya PKI mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi di Jogjakarta melalui RRI tanggal 1 Oktober 1965 yang diketuai oleh Mayor Mulyono. Di Jogjakarta inilah Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono diculik, dibunuh, dan dibuang di desa Kentungan, Jogjakarta.
Peristiwa ini merupakan kulminasi dari berbagai penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 pada masa Demokrasi Terpimpin.

Masa Persiapan Gerakan 30 September 1965

Kegiatan PKI sebagai langkah awal persiapan G30SPKI :
Mengadakan latihan militer bagi pemuda Gerwani dan para simpatisan PKI di Lubang Buaya, Pondok Gedhe
Membina kader-kader dan simpatisan PKI dari kalangan ABRI
Mengadakan rapat-rapat yang membahas mengenai taktik, nama, serta waktu pelaksanaan gerakan pemberontakan mereka
Menyebarkan isu-isu tentang “Dewan Jenderal” yang akan melakukan kudeta(perebutan kekuasaan) terhadap pemerintah yang sah tepat pada ulang tahun ABRI 5 Oktober 1965, berdasarkan Dokumen Gilchrist.

Kedudukan PKI semakin kuat setelah Indonesia meluncurkan politik konfrontasi dengan Malaysia. Di sisi lain, Angkatan Darat berupaya menasehati presiden agar waspada terhadap PKI. Berikut adalah beberapa tindakan yang dilakukan Angkatan Darat :
Menentang presiden membentuk Kabinet Gotong Royong karena akan memberi kesempatan PKI untuk lebih berkuasa
Menolak gagasan Angkatan kelima Men/Pangad Achmad Yani dan menegaskan bahwa pembentukan angkatan kelima tidak efisien dan merugikan revolusi Indonesia
Meyakinkan pada presiden bahwa dewan yang ada dalam Angkatan Darat bukan Dewan Jenderal, melainkan Wanjakti yang bertugas memberikan usul kepada Men/Pangad mengenai pangkat para perwira tinggi.

Di tengah persaingan PKI dan Angkatan Darat, muncul berita tentang memburuknya kesehatan presiden Soekarno pada Juli 1965. Situasi ini dimanfaatkan PKI untuk memulai aksinya.
Setelah disepakati, maka operasi pelaksanaannya diserahkan kepada Kamaruzaman yang menjabat sebagai Ketua Biro Khusus PKI.

Selayang pandang tentang G30SPKI

Ini adalah beberapa point yang saya dapatkan dari sebuah buku paket Sejarah untuk SMP kelas IX penebit ‘Aneka Ilmu’.
●Gerakan 30 September 1965 ini merupakan pemberontakan yang kedua sejak kemerdekaan Indonesia.
●Secara umum, peristiwa ini merupakan upaya mengganti ideologi pancasila dan menggulingkan pemerintahan yang sah.
●Secara khusus, peristiwa ini merujuk pada gerakan sekelompok militer yang menculik dan membunuh sejumlah perwira tinggi angkatan darat
●Konsep “Nasionalisme,agama,dan komunis(Nasakom)” yang diterapkan oleh presiden Soekarno dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan peluang besar kepada Partai Komunis Indonesia(PKI) untuk memperluas pengaruhnya pada berbagai aspek kehidupan. Melalui infiltrasi(penyusupan) PKI berhasil mempengaruhi organisasi massa, wartawan, guru, dosen, intelek, bahkan ABRI untuk membantu mewujudkan keinginan PKI mengganti pancasila dengan paham Komunis.
●Pengaruh PKI:
  1. Dalam politik luar negeri :
      -Keluarnya Indonesia dari PBB
      -Politik Indonesia yang condong ke kiri, yaitu dengan terbentuknya Poros Jakarta-Phnom Penh-Peking-Pyong Yang
2. Dalam bidang ekonomi :
Adanya inflasi hingga 650%
●Usaha kerakyatan yang dilakukan PKI untuk menarik simpati rakyat:
  1. Memberikan janji kenaikan gaji dan upah bagi pegawai dan buruh
  2. Janji pembagian tanah dan perbaikan sistem ‘bagi hasil’ bagi para petani
  3. Mambentuk Lembaga Kesenian Rakyat(Lekra)
  4. Membentuk berbagai organisasi massa seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, BTI,dan lain-lain.
●Setelah mendapatkan dukungan yang luas, PKI mulai melakukan tindakan kekerasan yang disebut ‘Aksi Sepihak’ dengan melakukan beberapa tindakan :
1. Perebutan dan Penguasaan tanah perkebunan milik negara oleh BTI di Jengkol, Kediri, Jawa Timur yang dikenal dengan ‘Peristiwa Jengkol’
2. Penganiayaan terhadap Pelda Soedjono dengan dicangkul kepalanya oleh BTI di Bandar Betsy, Sumatera Utara yang dikenal dengan ‘Peristiwa Bandar Betsy’
3. Penyerbuan dan penyerangan terhadap pondok pesantren di Kanigoro, Kediri, Jawa Timur yang dikenal dengan ‘Peristiwa Kanigoro’.

TENTARA, SANTRI, DAN TRAGEDI KEDIRI

PONDOK PESANTREN, ANSOR, DAN TENTARA BERSAMA-SAMA MEMBANTAI ANGGOTA DAN ORANG YANG TERLIBAT DENGAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA. TERSULUT PERISTIWA KANIGORO.
Menyandang wewenang, Abdul Malik memimpin 100 pemuda Ansor berjalan kaki dari lapangan alun-alun Kota Kediri menuju kelurahan Burengan. Tujuannya: kantor Partai Komunis Indonesia,sekitar tiga kilometer sebelah timur pusat Kota Kediri. Tanpa basa-basi, beragam senjata tajam berkelebat. Belasan pengurus PKI yang mencoba mempertahankan kantor terjungkal, lainnya melarikan diri ke utara desa. “Kantor itu kami bakarhingga ludes,” ujar mantan Komandan Peleton III Ansor Kecamatan Kandat, Kediri, ini mengenang peristiwa 13 Oktober 1965 itu. Abdul mengatakan peristiwa itu adalah awal aksi dia menumpas anggota PKI di Kediri. Grup Abdul tak sendiri. Ada puluhan kelompok lain yang terdiri atas santri berbagai pondok pesantren serta anggota Ansor dan Banser berjumlah puluhan ribu orang. Hari itu mereka serentak menyisir kantong-kantong PKI di Kediri.
Sebelum bergerak massa mengikuti apel siaga yang digelar di alun-alun kota. Apel dipimpin Syafi’i Sulaiman dana H Toyip,dua tokoh Nahdatul Ulama terkemuka di Kediri. “Mereka menyatakan PKI telah menginjak-injak agama islam dan hendak menumpas kaum muslim di Indonesia,” kata Abdul. Atas dasar itu mereka memberikan intruksi tegas kepada peserta apel:tumpas PKI.
Menurut Abdul, tentara memiliki andil besar dalam pelaksanaan apel itu. Satu malam sbelum apel siaga digelar, Abdul menyaksikan sejumlah anggota komando rayon militer datang ke rumah H Sopingi, tokoh NU yang tinggal di Kelurahan Setonogedong,Kediri, tempat rapat pembahasan rencana apel siaga. Anggota koramil itu meminta apel siaga segera digelar karena PKI telah siap bergerak menyerang Kediri.
Hermawan Sulistyo, penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu ,menyatakan apel siaga itu awalnya memang atas permintan Komandan Brigade Infanteri 16 Kolonel Sam kepada Ketua NU Kediri. Permintaan itu sekaligus ungkapan eksplisit dukungan militer terhadap NU untuk brgerak. Bahkan Sam memberikan sepucuk pistol Luger kepada Ketua Ansor Kediri sekaligus melatihnya menembak di Gunung Klotok, gunung kecil di sebelah barat Kediri. Selain direstui para kiai pemuka NU,apel itu dihadiri sejumlah tokoh diluar NU. Bupati dan Komandan Komando Distrik Militer Kediri kala itu ikut datang dan memberi sambutan.
Apel siaga itu tonggak awal penumpasan anggota PKI dan orang-orang yang dianggap terkait dengan partai berlambang palu-arit tersebut di Kediri. Pembantaian berskala besar dan terbuka selanjutnya terjadi selama berbulan-bulan di seluruh wilayah Kota Tahu ini. Salah satu lokasi favorit untu membantai adalah gisikan atau sepanjang pinggiran sungai Brantas, yang membelah wilayah Kediri. Kepala para korban dipenggal dan lantas dilempar ke sungai.
Kediri diduga menjadi ladang pembantaian paling besar di Jawa Timur. Belum ada angka pasti jumlah korban pembantaian kala itu. Namun, sejak operasi penumpasan dimulai, Sungai Brantas menjadi kuburan terapung. Mayat-mayat yang sebagian besar tanpa kepala mengambang di sepanjang sungai. Bau busuk menguar. Tidak ada orang yang berani menangkap ikan serta bersedia makan ikan dari sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Timur itu.
Kediri juga penyumbang tahanan PKI terbesar di Jawa Timur. Berdasarkan data Direktorat Sosial Politik Provinsi Jawa Timur pada 1981, jumlah mantan tahanan terkait dengan PKI yang dibebaskan dan wajib lapor sebanyak 446.803 orang di seluruh Jawa Timur, sebanyak 83.300 orang berasal dari Kediri.
**
Sejak penyerbuan di Kelurahan Burengan pertengahan Oktober itu, selama berbulan-bulan Abdul terus memimpin Ansor Kandat menumpas PKI. Menurut dia, aksi itu mendapat dukungan penuh sekaligus perlindungan dari tentara. Pernah suatu ketika kelompoknya kalah menghadapi orang-orang PKI di Desa Batuaji, Kecamatan Kandat, Kediri. Karena massa PKI lebih besar, Abdul meminta bantuan koramil. Tak lama kemudian, sejumlah tentara membawa panser datang membantu.
Bukan hanya itu, setiap malam truk koramil datang ke rumah Abdul menyetorkan sejumlah anggota PKI untuk dieksekusi. TNI yang menangkap PKI,sementara mereka eksekutornya. TNI seperti “nabok nyilih tangan (meminjam tangan orang lain untuk memukul).”
Begitu diturunkan dari truk “paket kiriman” dari koramil itu lantas digiring ke pemakaman umum Desa Sumberejo, yang berada tak jauh dari rumah Abdul, untuk “disekolahkan”-istilah yang dipakai saat itu yang berarti dibunuh. Jumlahnya beragam, sebanyak 4-17 orang dikirim tiap malam.
**
Awal Oktober 1965, aktivitas pengajian di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri mendadak gaduh. Kiai Makhrus Aly,pengasuh pondok pesantren tersbesar di Kediri itu ,mengatakan massa PKI dalam jumlah besar akan menyerang Kediri. Kiai Makhrus mendapat informasi itu dari Komando Daerah Militer Brawijaya. Seorang perwira Kodam meberitahu Kiai Makhrus bahwa PKI akan menyerang Kediri pada 15 Oktober 1965 dan Pesantren Lirboyo adalah sasaran utama penyerbuan. Untuk meyakinkan Kiai Makhrus,perwira itu menunjukkan sejumlah lubang mirip sumur yang digali di area tebu mengelilingi pesantren Lirboyo. Ia mengatakan PKI membuat lubang itu untuk membuang mayat para santri dan kiai Lirboyo yang akan mereka bantai nanti. Pendek kata, kiai Makhrus percaya.
Kiai Makhrus yang juga ketua suriah NU, lantas menginstruksikan para santri untuk bersiaga. Semua santri dewasa mendapat pelatiahan silat serta gemblengan ilmu kebal dari pengurus dan pendekar pesantren. Tetapi kiai Makhrus masih punya batasan. Dia melarang para santri membunuh simpatisan PKI yang tinggal disekitar Lirboyo karena tidak ingin ada pertumpahan dara antara santri dan warga sekitar pesantren yang kala itu banyak berafiliasi ke PKI ,sehingga penumpasan di sekitar pesantren dilakukan oleh TNI sendiri.
**
Masdoeqi Moeslim salah satu anggota Pelajar Islam Indonesia(PII) yang waktu itu berada di tempat kejadian di Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri mengatakan bahwa ia masih ingat betul kejadian itu. Saat itu jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia beserta 127 pesera pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk melaksanakan shalat subuh. Lalu sekitar seribu anggota PKI bersenjata datang menyerbu, sebagian PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke dalam karung lalu dilempar ke halaman masjid dan di injak-injak. Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan masjid, para panitia pelatihan diikat dan ditempeli senjata. Massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhari dan adik ipar Kiai Makhrus Aly(pengasuh PonPes Lirboyo). Ayah Gus Maksum itu ditendang dan diseret keluar rumah. Lalu mereka mengikat dan menggiring 98 orang termasuk Kiai Jauhari, ke markas Kepolisian Kras dan menyerahkannya ke polisi.
Kejadian ini semakin memberikan tanya besar pada benak kita semua. Siapakah yang sebenarnya bersalah atas kasus ini ?
Entahlan, mungkin benar ungkapan dalam syair lagu yang berbunyi “Coba Kita bertanya pada rumput yang bergoyang”
Sumber : Majalah TEMPO edisi 1-7 Oktober 2012