Rabu, 29 Januari 2014

REKONSILIASI Bakda 1965 berakhir

Dari Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 yang saya temukan di dalam tas kerja ayah saya pada awal Januari 2014, hati saya mulai tergerak untuk menulis apa yang telah saya baca tentang sisa-sisa kisah Partai Komunis Indonesia di bumi pertiwi ini. Keadilan masih jauh rasanya dari semua pihak yang dirugikan atas peristiwa berdarah 1965.

 Rekonsiliasi tidak bisa dimulai dari ingkar; ia harus diawali oleh pengakuan. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku pembunuhan massal 1965 dan mereka yang menyokong kejadian itu. Dalam frasa truth and reconciliation terma “kebenaran”diletakkan mendahului “rekonsiliasi” untuk menunjukkan yang satu merupakan syarat mutlak bagi yang lain.

Sekarang berpuluh-puluh tahun berlalu sejak pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia(PKI) dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya. Rekonsiliasi masih jauh dari angan-angan. Yang abadi hingga kini: para pelaku-juga organisasi serta aparatur Negara yang menyokong aksi sadis itu-sibuk menyangkal atau membela diri seraya mengingatkan tentang “bahaya laten” komunisme.

Tak ada angka pasti tentang jumlah korban. Pada Desember 1965, Sukarno pernah membentuk komisi pencari fakta yang dipimpin Menteri Negara Oei Tjoe Tat untuk mencari tahu. Karena tak leluasa bekerja dan khawatir pada reaksi tentara, komisi itu menyimpulkan 78 orang terbunuh-angka yang dipercaya terlalu kecil. Laporan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menyebutkan korban tewas sekitar satu juta. Menurut mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat Sarwo Edhie Wibowo, setidaknya tiga juta orang terbunuh. Para aktivis kiri mempercayai dua juta.

Meminjam Robert Cribb, kaum kiri membesar-besarkan skala pembantaian untuk menekankan kesalahan para pelaku. Bagi para penentang komunis, angka yang tinggi menegaskan bahaya PKI, angka yang rendah akan mengurangi kesalahan mereka. Dalam hal ini, pengingkaran tampaknya dimulai dari statistic.

Dalam semangat mengungkap “truth” itulah film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer layak mendapat perhatian. Dibuat selama tujuh tahun, film itu memuat kesaksian terbuka seorang bergajul yang pernah membunuh ratusan orang PKI di Medan. Kesaksian itu menguak motif lain para jagal: dendam pribadi. Bagi Anwar Congo,jagal itu, orang-orang PKI harus dibunuh karena mereka melawan film Barat-“kapitalisme” yang bertahun-tahun telah menfkahi Anwar sebagai tukang catut karcis bioskop. Sejumlah algojo lain menyampaikan apologia yang tak baru: mereka membunuh untuk menyelamatkan Negara dari bahaya komunis.

Dalam alam pikir Orde Baru yang belum sepenuhnya pupus di masyarakat, permohonan maaf yang diajukan Abdurrahman Wahid pada awal reformasi dulu layak diapresiasi. Sebagai kepala Negara dan kiai Nahdatul Ulama, Gus Dur secara terbuka menyatakan penyesalan. Patut disayangkan, 13 tahun setelahnya segelintir ulama NU justru menolak meminta maaf kepada para korban dan meminta presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengikuti jejak mereka. Sikap ini mereka ambil setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini. Sejarah mencatat, NU adalah organisasiyang aktif berperan “membersihkan” PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Betapapun penolakan tak surut, langkah untuk menyembuhkan luka 1965 harus terus dilakukan. Membentuk pengadilan ad hoc untuk mengadili para pelaku-kini uzur atau bahkan sudah meninggal-tampaknya bukan rencana yang mudah dilakukan. Proses rekonsiliasi yang membutuhkan undang-undang diperkirakan memakan waktu lama meski tak sepatutnya ddiabaikan.

Permintaan maaf pemerintah mungkin jadi solusi jangka pendek. Penyesalan bisa dilakukan dengan memberi kompensasi yang wajar kepada para korban. Aksi pemerintah ini diharapkan diduplikasi oleh masyarakat di level yang lebih mikro. Benih permaafan itu sebenarnya bukan tak ada sama sekali.

Di Palu, Sulawesi Tengah, Wali Kota Rusdi Mastura secara resmi dan terbuka meminta maaf kepada bekas anggota PKI. Kepada keluarga korban ia menjanjikan kesehatan gratis dan beasiswa. Ia juga berencana mendirikan monumen di bekas lokasi kerja paksa PKI.

Di luar itu, tak selayaknya kita alergi terhadap komunisme. Sudah lama ideologi itu bangkrut. Uni Soviet porak poranda, Cina kini sama kapitalisnya dengan Amerika. Ide masyarakat tanpa kelas adalah utopia yang using dan sia-sia.

Karena itu, tak perlu melarang penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisma. Ketetapan MPRS tentang itu sebaiknya dihapus saja. Tak boleh ada pembredelan buku yang menyangkut 1965-juga yang lainnya. Yang justru harus diperangi adalah stigmatisasi para komunisme dan para korban. Menyebut komunis sebagai ateis merupakan salah kaprah yang bertahun-tahun terlanjur dipercaya. Dengan kata lain, hadapi komunisme dengan rileks. Semoga Indonesia menjadi lebih dewasa lagi.

Sumber : Majalah TEMPO edisi 1-7 Oktober 2012 hal.29